FaktaNews.-(Banyuwangi)–Humas Pengadilan Negeri Banyuwangi Komang Dedik Prayoga tak bisa terlalu banyak berkomentar ketika di konfirmasi terkait salah satu perkara yang kontroversial terjadi di PN Banyuwangi.
Ini terkait perkara putusan perkara no 69/pdt.bth/2021/PN.Byw. yang diputus dan termuat dalam sistem Informasi Penulusuran Perkara (SIPP) lalu hilang kemudian muncul putusan lagi di waktu berbeda dan berbalik dari putusan sebelumnya.
“Saya tidak bisa mengomentari perkara, kalau soal itu (ada putusan) saya tidak tahu,”kata komang seraya melihat tangkapan layar putusan lengkap tanggal 14 Oktober dan waktu batas banding perkara 3 Nopember 2021.
Komang yang didampingi penitera pengganti sempat mengira putusan tanggal 14 Oktober merupakan putusan sela yang dikenal dalam hukum apakah majelis berhak menangani perkara tersebut.
Namun ketika melihat tangkapan layar putusan tanggal 14 oktober 2021 plus batas banding tgl 3 November 2021 keduanya meminta waktu untuk disampaikan kepada Ketua majelis hakim yang menangani.
Komang yang juga anggota Majelis Hakim yang ikut menangani perkara tersebut, hanya mengaku perkara perdata bantahan tersebut diputus majelis hakim tanggal 21 Oktober 2021 dan masa waktu banding tanggal 9 Nopember 2021.
Komang mengaku tidak mengetahui ada putusan perkara yang sama yang diputus pada 14 Oktober dan tanggal 21 Oktober isi amarnya bertolak belakang.
“Saya coba nanti sampaikan kepada kepada yang menangani perkara (diketuai Khamozaru Waruwu yang juga Wk ketua PN Banyuwangi), pak ketua hakimnya masih saya hubungi,”kata Komang, Jum’at (22/10/21).
Terkait putusan menghilang lalu Diputus lagi dengan Amar putusan beda, kini menjadi topik pembicaraan masyarakat Banyuwangi.
Mereka menilai ada sesuatu hal tak wajar dan terang-terangan mewarnai spekulasi ramainya publik terhadap perkara terkait aset bernilai milyaran tersebut.
“Ya mestinya sekali putusan perkara lalu yang berkeberatan bisa Banding, bukan malah membuat putusan lagi, apalagi isi amarnya berbeda,”kata Ketua LSM Lentera, Sumardji SH.
Dia berjanji akan mendiskusikan kepada sesama aktivis lain hingga aktivis Jakarta sebelum melangkah lebih jauh.
“Kita kawal dan kita akan bantu laporan kepada pengawas hakim, dan Laporan kepada Ombusmen,”katanya.
Sementara itu, Kuasa hukum pembatal eksekusi Misnadi SH.MH mengakui penanganan majelis hakim dalam perkara tersebut perlu dipertanyakan bahkan harus dilaporkan kepada pihak pengawas hakim dan lembaga lainnya.
Misnadi menegaskan apa yang diputus oleh hakim merupakan hukum yang harus dijalankan bukan dirubah lalu diputus lagi.
“Dalam putusan tanggal 14 Oktober bunyinya begitu bantahan diterima, eksekusi tidak bisa dilakukan karena tanah 95.000 HGUnya mati maka harus kembali kepada negara dan sudah dijelaskan banding adalah tanggal 3 November 2021, sekarang ada putusan lagi tanggal 21 Oktober (kemarin) isinya berbeda sama sekali,” kata Misnadi.
Menurut Misnadi majelis hakim mestinya harus fair menilai dan memproses persidangan perkara.
“Kalau sudah diputus pengadilan ya sudah, semisal ada upaya hukum lain pihak yang berperkara bisa mengajukan hukum ke pangadilan lebih tinggi,”terangnya.
Kuasa hukum Moersanjoto Oetomo alias Jimmy itu mengatakan, dirinya hingga kini masih tak habis pikir (terheran) dengan perkara yang diputus hingga 2 kali tersebut.
Tidak bisa apa yang diputus misalnya dianulir, lalu dianggap oleh majelis hakim yang sama proses hukum masih berjalan di pengadilan tingkat yang sama (pengadilan Negeri).
“Kita akan laporkan ke Mahkamah Agung dan pihak lain,”Katanya.
Perlu diketahui obyek yang diperkarakan berbentuk lahan seluas 95.000 M2 dengan HGU yang sudah mati tepatnya 2010 lalu.
Dalam perkara ini berbagai rumor dan Isu mulai menyoroti dengan berbagai dugaannya, bahkan beberapa LSM berupaya berkumpul untul mencari data dan Informasi untul jadi bahan laporan kepada Instansi dipusat.(*kin).
Bersambung.