Prosesi Petik Laut Muncar yang Telah Ada Secara Turun-temurun

FaktaNews.– Petik laut Muncar dikenal sebagai tradisi ucapan syukur kepada Tuhan atas hasil laut yang diberikan kepada mereka. Tersebut telah berlangsung lama di Banyuwangi. Ritual petik laut diawali dengan pembuatan sesaji oleh sang pawang. Sang pawang sendiri yang merupakan sesepuh nelayan yang merupakan warga keturunan Madura yang telah lama mendiami pelabuhan Muncar secara turun-temurun.

Sesaji utama dalam ritual petik laut yakni kepala kambing kendit yang merupakan kambing dengan kepala berwarna hitam dan badan putih. Warna kambing yang hitam dan putih tersebut melambangkan sifat baik dan buruk manusia. Kepala kambing tersebut pun sengaja dipertahankan utuh beserta isi kepalanya yang masih lengkap.

Diperlukan juga mata kaki dan darah kambing yang dimaksudkan supaya nelayan ketika bekerja menggunakan kaki tangan dan otak berpikir dan bertindak berani disertai dengan mata hati. Harga jumlah mempersiapkan sesajen seperti ayam jantan hidup, pisang raja, kemenyan berisi kapur, sirih dan tembakau serta ragam jajanan pasar. Tidak ketinggalan juga beraneka buah-buahan dan umbi-umbian serta sayur-sayuran. Ada juga kembang telon, kembang setaman, tebu hitam dan pohon pisang dengan buahnya.

Pisang raja melambangkan nelayan ketika bekerja di ibaratkan jago bertarung dan berani mati. Lambang lainnya seperti pantang menyerah. Dan sebagai raja lautan yang berbantal ombak dan selimut angin. Bahan lainnya seperti kemenyan yang berisi kapur, sirih, serta tembakau, merupakan lambang khusus. Dimana lambang tersebut berarti supaya masyarakat ingat pada petuah dan juga untuk tetap menghormati orang yang lebih tua.

Baca juga:  Bawang Putih dan Madu, Jurus Ampuh Anti Diabetes dan Perkasa di Ranjang

Ketika sore hari dan telah siap, sesaji tersebut di arak dari rumah bawang menuju tempat gitik. Sang pawang kemudian memimpin arek-arek kan sembari berjalan dan menaburkan beras kuning. Titik sendiri merupakan sebuah perahu kecil yang memiliki panjang 5 m dan disiapkan sebagai perahu sesaji.

Pada malam hari di tempat gitik juga diadakan selamatan, pengajian, serta doa bersama. Acara kemudian dilanjut dengan seni memaca. Seni memaca yakni membaca dan melakukan syair kitab an dia yang berisi kisah nabi Sulaiman dan nabi Yusuf secara bergantian. Hal tersebut biasanya dilakukan sembari tirakat hingga pagi.

Pagi harinya, para nelayan kemudian berkumpul di rumah sang pawang. Mereka mengenakan baju khas Madura sembari membawa celurit. Prosesi tersebut diawali dengan ider bumi, yaitu mengharap jutek berisi sesaji untuk keliling kampung sebelum menuju pantai muncar.

Penari Gandrung menari di depan githik sebelum arak-arakan ider bumi dilaksanakan. Arak-arakan githik berakhir di tempat pelelangan ikan. Di sana sesaji kemudian disambut 6 penari Gandrung dan berangkat menuju perahu besar untuk dilarang ke tengah laut.

Menjelang tengah hari iring-iringan perahu kemudian bergerak ke laut. Dari kejauhan kemudian akan terlihat jika barisan perahu yang tengah melaju tersebut berukuran besar bergerak dengan kencang. Iring-iringan tersebut kemudian berhenti di sebuah lokasi berair tenang yang biasa disebut plawangan. Sesaji kemudian diturunkan dari perahu, teriakan syukur menggema begitu saja jatuh.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *