FAKTANEWS.CO.ID | Indonesia sangat terkenal dengan kepercayaan masyarakat terdahulu. Mereka menganggapnya sebagai adat-istiadat atau mitos. Adat-istiadat di Indonesia sangat kental sekali hingga bagi seorang pun yang melanggarnya dianggap pamali. Rata-rata masyarakat pedesaan atau kampung yang terletak jauh dari kota masih menjaga peninggalan nenek moyang ini.
Salah satu alasan mengapa di pedesaan masih terlestarikan karena di desa hubungan antar masyarakat masih erat, terdapat rasa saling memiliki dan saling mengingatkan. Serta minimnya masyarakat luar yang singgah di desa menyebabkan tidak adanya tukar pikiran atau tukar kebudayaan.
Diantara mitos yang beredar di masyarakat khususnya Banyuwangi adalah mitos perempuan Banyuwangi tidak setia. Hal ini jika kita perhatikan dari kacamata akal jelas tidak sah apalagi jika hanya melihat satu dua kasus. Mitos ini seakan-akan hanya menjadi sumpah serapah yang jika diamini dan dipercayai akan terjadi.
Adanya mitos tersebut telah menentang paham masyarakat tentang asal-usul nama Banyuwangi. Bahwasanya dalam cerita tersebut menjelaskan tentang kesetiaan seorang istri adipati Sidopekso, Sri Tanjung.
Kesetiaan tersebut yang membawa nama Banyuwangi tercipta. Dimulai dari kesetiaan Sri Tanjung, fitnah karena berkhianat, liciknya sang raja yang ingin memiliki Sri Tanjung hingga hukuman mati yang harus ia alami karena sang suami yang tidak mempercayainya. Legenda ini banyak diceritakan di pentas seni dan budaya lokal salah satunya tari-tarian.
Selain mempunyai mitos, Banyuwangi juga memiliki adat-istiadat yang unik. Adat-istiadat ini lahir dari suku Osing yang merupakan penduduk asli Banyuwangi. Menurut beberapa cerita, suku Osing merupakan keturunan rakyat kerajaan Blambangan yang mengasingkan diri pada zaman Majapahit. Mayoritas penduduk Osing beragama Budha dan Hindu.
Adat-istiadat yang pertama yaitu tradisi Mepe Kasur. Menurut kebiasaan orang Mepe Kasur hanya dilakukan ketika kasur basah, namun berbeda dengan suku Osing Mepe Kasur merupakan tradisi yang rutin dilakukan pada bulan Dzulhijjah bersamaan dengan selamatan desa.
Biasanya mitos / adat-istiadat memiliki tujuan sosial atau pesan moral tersendiri tak terkecuali Mepe Kasur. Mepe Kasur dapat menjaga kerukunan dan semangat bekerja dalam rumah tangga. Biasanya ketika hari perayaan, masyarakat secara bersamaan Mepe Kasur. Kerukunan sangat terlihat dari warna kasur yang digunakan masyarakat yakni warna merah dan hitam yang melambangkan tolak balak dan kelanggengan keluarga.
Selain Mepe Kasur, suku Osis juga memiliki kebiasaan yang lain yaitu bahasa keseharian. Bahasa tersebut merupakan turunan langsung dari Bahasa Jawa Kuno. Bahasa ini memiliki dua jenis sistem bahasa yaitu bahasa Osing dan bahasa ngoko-krama.
Selanjutnya ada Tumpeng Sewu. Tumpeng Sewu merupakan tradisi makan besar yang masih dilestarikan hingga saat ini. Perayaan ini rutin dilakukan setiap bulan Dzulhijjah atau bulan Haji.
Tumpeng Sewu ini memiliki kepercayaan dapat menjauhkan dari malapetaka. Tradisi ini menjadi semacam dengan tradisi tolak bala yang mana jika tidak dilakukan akan ada musibah yang akan mendatangi wilayah yang mereka tinggali.
Yang terakhir, Barong Ider Bumi yang diselenggarakan setiap tanggal dua bulan Syawal. Sebagian kelompok warga membentuk kelompok barongan mengitari desa dari ujung timur ke barat. Tradisi ini seperti arak-arakan yang dilakukan selayaknya karnaval. Tradisi ini bertujuan untuk menolak bala.
Di Dalam setiap tradisi atau mitos, biasanya terdapat kandungan nilai budaya, fungsi dan manfaat tersendiri. Terlepas dari itu semua terkadang mitos juga dipenuhi dengan kabar burung atau hoax yang menyebabkan masyarakat cenderung menjadi penurut buta.[FN092]