Faktanews.co.id.-(Jakarta)– Sebanyak 74 Guru Besar sejumlah kampus dan disiplin ilmu berekasi atas di non aktifkan 75 Pegawai KPK.
Para guru besar mendesak agar pihak terkait ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membatalkan hasil Tes Wawasan Kebangsaan yang dijadikan dasar ketua KPK menonkatifkan 75 Pegawai KPK serta perintah untuk menyerahkan tugas mereka tersebut.
Para guru besar menilai pelaksanaan tes itu melanggar hukum dan etika publik.
Para Guru Besar itu sepakat bahwa pemberhentian 75 pegawai yang tak lolos TWK bisa mengancam perkara korupsi besar yang sedang ditangani KPK
Mereka mencontohkan non aktif pegawai KPK dinilai berpengaruh terhadap proses hukum kasus Bantuan Sosial Covid-19, kasus suap ekspor benih lobster, dan suap mantan Sekretaris Mahkamah Agung.
Dilansir Tempo, dari 74 guru besar terdapat nama-nama guru besar yang dikenal anti korupsi dari perguruan tinggi cukup terkenal di Indonesia.
Seperti Guru Besar Antikorupsi dari Prof Azyumardi Azra (Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah).
Prof. em. Dr. Franz Magnis-Suseno (Guru Besar STF Driyarkara). Prof Sulistyowati Irianto (Guru Besar FH UI).
Prof Sigit Riyanto (Guru Besar FH UGM), Prof Emil Salim (Guru Besar FEB UI).
Prof Ni’matul Huda (Guru Besar FH UII), Prof Jan S Aritonang (Guru Besar Sekolah Tinggi Teologi Jakarta).
Prof Ningrum Natasya Sirait (Guru Besar FH USU).Prof Anna Erlyana (Guru Besar FH UI)
Prof Andri G Wibisana (Guru Besar FH UI) serta 64 guru besar lain cukup terkenal di Indonesia itu mendesak Firli Bahuri untuk membatalkan TWK sebagai syarat alih status pegawai.
“TWK yang diikuti seluruh pegawai KPK memiliki problem serius,” kata perwakilan Guru Besar, Azyumardi Azra pada keterangan tertulis, Minggu (16/5).
Menurut Guru Besar dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta ini, Surat Keputusan Pimpinan KPK yang diteken Firli Bahuri bertentangan dengan pemaknaan alih status.
Dalam suratnya itu, Firli memerintahkan pegawai yang tidak lolos TWK untuk menyerahkan tugas dan tanggung jawabnya kepada atasan.
Azyumardi menyebut, surat itu sudah masuk ranah pemberhentian oleh Pimpinan KPK.
“Sebab, 75 pegawai KPK yang disebutkan TMS tidak dapat lagi bekerja seperti sedia kala,” katanya.
Sementara itu, Guru Besar Fakultas Psikologi UGM, Kuntjoro mengatakan pertanyaan-pertanyaan dalam TWK memantik kecurigaan.
Kuntjoro menilai pertanyaan yang diajukan kepada para pegawai KPK dalam TWK pertanyaan irasional dan tidak relevan dengan isu pemberantasan korupsi.
Lebih jauh penolakan Non aktif pegawai KPK juga disuarakan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Sigit Riyanto.
Menurut Sigit TWK bertentangan dengan hukum karena dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK dan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2020 sebagai syarat untuk melakukan alih status pegawai, TWK tidak disebutkan.
Apalagi kata Sigit, Mahkamah Konstitusi (MK) juga telah menegaskan dalam putusan uji materi UU KPK terkait proses alih status kepegawaian tidak boleh merugikan hak pegawai.
“Namun, aturan itu ternyata telah diabaikan begitu saja oleh Pimpinan KPK dengan tetap memasukkan secara paksa konsep TWK ke dalam Peraturan KPK Nomor 1 Tahun 2021,” katanya.(*tec/fak).